Selasa, 30 Januari 2018

ADAB MAKSIAT TERHADAP ALLAH SWT

BAB II

 PEMBAHASAN


A.    ADAB MAKSIAT TERHADAP ALLAH SWT

1.      MATA

Mata diciptakan agar kita bisa mendapatkan petunjuk didalam kegelapan. Dengan perantaraan mata kita dapat menyaksikan kehidupan alam, melihat segala macam yang diciptakan oleh Allah SWT, dapat melihat wanita cantik dan pemuda tampan dan masih banyak lagi, yang semua itu merupakan pertanda dari ayat-ayat keagungan dan kekuasaan Allah SWT. [1]
Karena begitu besarnya kenikmatan yang diperoleh lewat mata, maka kita wajib mensyukurinya, agar dapat selamat dari segala kemudharatan atau kemaksiatan yang dilakukan mata, yang akibatnya sangat fatal. Pada dasarnya, islam telah memberikan tuntunan terhadap kita dalam menggunakan atau memanfaatkan mata. Allah SWT telah memerintahkan mata untuk digunakan sebagai berikut:
a.       Memperoleh petunjuk dalam kegelapan.
b.      Untuk memperoleh pertolongan dalam menuntut segala hajat hidup didalam mengarungi kehidupan.
c.       Untuk melihat dan menyaksikan segala keindahan yang telah Allah SWT ciptakan, baik keindahan yang ada dilangit maupun dibumi. Selanjutnya agar kita dapat mengambil i’tibar, pelajaran dan pengetahuan tentang kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. [2]

Oleh karena itu, hendaklah kita selalu menjaga dan memelihara mata dari empat macam perkara, yaitu:
a.       Jangan digunakan untuk melihat orang lain yang bukan mukhrim.
b.      Jangan digunakan untuk melihat aneka ragam keindahan bentuk dan rupa, sehingga dapat memikat dan menimbulkan syahwat.
c.       Jangan digunakan untuk melihat dan memandang orang islam dengan pandangan sinis dan meremehkan.
d.      Jangan digunakan untuk melihat orang lain yang dapat menimbulkan ketakutan pada mereka.[3]

Dengan demikian, mata harus dijaga dan dipelihara, yang senantiasa akan mengantarkan kepada moral yang baik, sesuai yang telah digariskan syariat islam. Karenanya, kita sebagai umat muslim, hendaklah selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT, agar mata kita yang menjadi amanat dan karunia dari sisi-Nya dapat terjaga dan terjauhkkan dari segala perbuatan maksiat dan dosa. Maksiat dan dosa dapat menarik kita kejurang kebinasaan. Setelah kita dapat menjaga anggota badan yang berupa mata, maka hendaklah kita menjaga anggota yang lain, agar kita benar-benar selamat dari murka dan ancaman Allah SWT.[4]

2.      TELINGA

Telinga merupakan nikmat dan amanat dari Allah SWT yang wajib kita syukuri dan pelihara. Alangkah bahagianya orang yang mempunyai telinga, yang dapat digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah SWT, mendengarkan kesyahduan dan kemerduan alunan musik, mendengar lagu qasidah, mendengar tuntunan dan petunjuk ajaran agama. Namun demikian, Allah SWT memberikan telinga kepada manusia bukankah digunakan  untuk mendengar setiap suara. Tetapi, islam juga memberikan ketentuan dalam penggunaan telinga, yaitu:
a.       Mendengarkan firman-firman Allah SWT.
b.      Mendengarkan sabda Rasulullah SAW.
c.       Mendengarkan hikmah para kekasih Allah SWT.
Disamping itu, hendaklah telinga digunakan untuk sarana mendapatkan ilmu pengetahuan yang dapat mengantar kesuatu kebahagiaan yang kekal dan kenikmatan yang abadi, yang telah Allah SWT sediakan kelak di Akherat, yaitu Surga. Karena itu, jangan digunakan untuk mendengar sesuatu yang bid’ah, ucapan ghibah (mengumpat), bergumam, provokasi, perkataan keji, ucapan mengadu domba, mendengarkan penuturan kejelekan orang lain. Hendaklah semua itu dihindari semaksimal mungkin, apalagi bagi kita sebagai umat muslim yang tunduk dan patuh pada ajaran agama. Disamping menghindari mendengarkan perkataan-perkataan tidak baik, juga kita harus menghindari dari mengucapkannya pula. [5]
Andaikan telinga kita digunakan untuk mendengar sesuatu yang dibenci oleh islam, yang mestinya akan mendatangkan kemanfaatan, malah berbalik menjadi sesuatu yang membahayakan. Dan sesuatu yang semestinya akan mendatangkan keutamaan, berbalik menjadi suatu yang mendatangkan kerusakan dan kebinasaan. Akibatnya akan mendatangkan kerugian yang amat besar. [6]
Janganlah beranggapan bahwa dosa akan menimpa pada orang yang berbicara saja, sedangkan yang mendengarkannya tidak mendapat dosa. Sebab Rasulullah SAW dengan tegas memberikan keterangan sebagai berikut,
sesungguhnya orang yang mendengarkan adalah sekutu orang yang berbicara ( dalam Dosa), dan dia merupakan salah satu dari dua orang yang berbuat ghibah (mengumpat).”
Oleh sebab itu, hendaklah kita berhati-hati dalam mendengarkan perkataan, jangan ikut-ikutan mendengarkan sesuatu yang dilarang oleh syariat islam. Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan pertolongan kepada kita, agar dapat memelihara telinga dari sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sehingga kita dapat selamat disepanjang masa. [7]
·         Hiburan Telinga
Menurut pendapat Ulama hiburan telinga itu berbeda-beda, sebagian diantara mereka ada yang  mengharamkannya dan sebagian yang  lain ada yang membolehkannya.  Yang   dengan hiburan telinga artinya mendengar suara yang merdu berirama, dimengerti maknanya lagi menggugah hati. Secara garis besar hiburan telinga itu tiada lain untuk menghibur hati dan telinga yang kedudukannya sama dengan menyegarkan pandangan mata dengan melihat tetumbuhan yang hijau-hijau dan hatipun menjadi terhibur karenanya.

 Mustahil bila dikatakan bahwa suara yang indah itu tidak boleh untuk membaca Kitabullah,  karena sesungguhnya menengar suara mendengar suara burung ‘andalib diperbolehkan. Apabila mendengar suara yang merdu diperbolehkan, maka tentu tidak diharamkan bila suara itu mempunyai nada, sepertihalnya suara nyanyian yang mempunyai not dan langgam yang teratur lagi selaras. Dalam hal ini tidak ada bedanya bila suara yang indah keluar dari bani Adam,burung atau yang lainnya.
Dalil yang memperbolehkan mendengarkan suara hiburan adalah berdasarkan apa yang diriwayatkan dari para sahabat mengenai menyanyikan bait-bait syair.  Didalam kitab Shahihain, disebutkan melalui Abu Bakar dan Bilal, ketika keduanya tiba di Madinah, Bilal mengalami sakit demam, dan manakala penyakitnya hilang ia mendendangkan syair-syair dengan suara yang keras.[8]

3.      LISAN

Perlu diperhatikan, apakah maksud dan tujuan Allah SWT menciptakan lisan untuk kita, sehingga kita akan sadar dari kelalaian dan perbuatan maksiat, disamping tanda  syukur kepada Allah SWT.
Betapa banyak kenikmatan yang telah kita terima melalui lisan. Karenanya, hendaklah kita syukuri dengan jalan menggunakan lisan untuk hal-hal berikut ini:
a.       Memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, yang telah mencipptakannya.
b.      Memeperbanyak membaca Al-Qur’an.
c.       Menuntun orang lain menuju ajaran agama Allah SWT.
d.      Menyatakan sesuatau yang ada dalam hati, dari segala hajat kebutuhan yang berkenaan dengan masalah agama dan urusan keduniaan kita.[9]
Seandainya lisan digunakan untuk hal yang tidak baik, berarti kita telah mengkufuri nikmat Allah SWT. Sesungguhnya lisan merupakan salah satu anggota badan yang paling dominan dan paling banyak perannya dalam mengalahkan seseorang.

Seseorang dijebloskan dalam api neraka jahannam dan dijungkir balikan merupakan akibat lisan juga. Karenanya, hendaklah kita dapat menjaga dan memelihara lisan tersebut. Hendaknya dijaga dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga, sesuai dengan kemampuan yang ada. Sehingga, lisan tidak akan menjebloskan kita kedalam api neraka jahannam yang sangat keji dan hina. Untuk itu, perhatikan dan renungkan hadits Nabi Muhammad SAW,
Sesungguhnya seseorang yang karena mengeluarkan perkataan dengan ucapan yang mengandung maksud meremehkan kawan, maka karena ucapan itu, dia dimasukan ke dalam neraka jahannam selama tujuh puluh tahun”.[10]
Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menjaga diri dari delapan perkara yang sangat besar mendatangkan bahaya bagi keselamatan jiwa, baik di dunia maupun akherat kelak. Adapun delapan perkara tersebut adalah:
a.       Dusta
Dusta merupakan sejelek-jelek perbuatan dosa. Jaganlah kita membiasakan diri melakukan perbuatan dusta yang sebenarnya akan mengantar kita menjadi seorang pendusta. Sesungguhnya perbuatan dusta merupakan induk dari segala perbuatan besar. Karenanya, kalau telah mengetahui keburukannya, hendaklah menjauhinya. Jika masih saja dilakukan, sudah pasti akan hilang sifat keadilannya, dan hilang pula kepercayaan orang lain kepada kita. [11]
Jika seseorang ingin mengetahui kejelekan perbuatan dusta yang keluar dari lisannya, hendaklah melihat perbuatan atau ucapan dusta yang dilakukan orang lain. Lalu renungkan bagaimana rasanya didustai orang, dan bagaimana perasaannya terhadap orang yang berdusta tersebut. Kalau seseorang menganggap hina perbuatan dusta, berarti dia merasa menjadi orang terhina bila berbuat dusta.
Jikaseseorang dapat  mengambil kesimpulan dari masalah dusta yang dilakukan orang lain, maka hendaklah instropeksi, menjaga diri terhadap segala aib yang terdapat dalam dirinya. Sebab kita tidak dapat melihat dan mengetaui aib diri kita sendiri, tanpa cara demikian. Ibarat seseorang yang tidak dapat melihat paras muka sendiri, maka untuk melihatnya memerlukan cermin. Karena itu, sesuatu yang kita anggap tidak baik yang timbul dari orang lain, tentu akan dianggap jelek ataupun buruk pula dari orang lain bila kita lakukan. Karena itu, jangan mau kemasukan atau ditempati sifat tercela, yang menurut pandangan umum tidak baik. Demikian islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berakhlak yang baik, yang megantarkan mereka menuju keselamatan dunia dan akherat. [12]
b.      Ingkar janji
Apabila kita tidak dapat menepati janji, lebih baik tidak berjanji. Sebab mengingkari janji merupakan larangan agama yang harus di hindari oleh setiap kaum muslimin. Jika memang terpaksa berjanji, hendaklah dijaga dengan sungguh-sungguh, jangan mengingkarinya. Boleh ingkar janji jika dalam keadaan lemah atau dalam keadaan darurat (terpaksa). Sebab mengingkari janji dengan tanpa alasan merupakan baian dari tanda-tanda orang munafik. Rasulullah SAW bersabda:” Ada tiga perkara yang apabila dimiliki oleh seseorang, maka dia orang munafik, sekalipun dia melakukan sholat dan puasa. Tiga perkara itu adalah: apabila berjanji mengingkari, apabila berkata berdusta, dan apabila dipercaya khianat.”[13]
c.       Ghibah ( Mengumpat)
Ghibah ialah membicarakan keadaan orang lain yang jika ia mendengar tidak merasa senang. Jika kita melakukannya, bararti telah melakukan ghibah, menganiaya diri sendiri, walaupun yang dibicarakan itu benar-benar terjadi. Apa yang kita katakan merupakan kenyataan dari keadaan orang yang kita bicarakan. [14]Allah SWT berfirman:”Dan janganlah sebagia kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu yang memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujaraat:12)
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa, Ghibah ibarat orang yang memakan daging saudaranya yang telah membusuk. Oleh karena itu, hendaklah kita menyadari, bahwa sesungguhnya membicarakan kejelekan orang lain bahayanya sangat besar sekali. Oleh karenanya, berusahalah dengan semaksimal mungkin untuk menjauhinya. Jangan sampai membicarakan aib sesama kaum musimin. [15]

Hendaknya kita selalu ingat, jika sekiranya kita mau menutup dan merahasiakan aib atau cela orang lain, maka Allah SWT berjanji akan merahasiakan dan menutup aib atau cela kita, baik di dunia maupun akherat. Tetapi sebaliknya, jika kita membuka rahasia orang lain, Allah SWT akan membuka rahasia kita di muka umum, baik di Dunia ataupun di Akherat. Allah SWT akan memerintah orang-orang yang memiliki lisan yang tajam untuk membeberkan rahasia kita dimuka bumi. Diakherat nanti akan dibuka pula rahasia itu dimuka umum, disaksikan oleh seluruh makhluk.
Jika kita telah mengoreksi diri sendiri, namun tidak dapat menemukan cela dan cacat, baik mengenai urusan dunia dan Akherat, maka ketahuilah : ”Sesungguhnya kita adalah seburuk-buruk orang yang paling tolol, dan tiada aib yang lebih jelek daripada kebodohan.”
Manakala Allah SWT menghendaki diri kita menjadi orang yang baik, niscaya Allah SWT akan berkenaan memperlihatkan seluruh cacat dan kekurangan yang terdapat pada diri kita. Maka jika kita beranggapan bahwa diri kita dalam keadaan baik, seperti tidak memiliki cacat dan cela, merasa puas, itu merupakan puncak kebodohan kita sendiri. Akan tetepi, jika anggapan itu benar, cocok dengan angan-angan bahwa kita dalam keadaan baik, maka hendaklah kita bersyukur kepada Allah SWT, sebab demikian lebih baik. Selanjutnya, jangan sampai kebaikan yang telah kita peroleh ini rusak karena kita mencela ataupun menganggap hina orang lain, memburuk-burukan, membuka cacat dan cela orang lain. Sebab, perbuatan itu merupakancela yang benar. [16]
d.      Debat dan Banyak Bicara
Tindakan bertengkar mulut, debat dan terlalu banyak bicara adalah menyakitkan orang yang diajak bicara. juga  menganggap bodoh dan mencacinya. Tindakan seperti itu didasari atau tidak telah menyanjung diri sendiri, dan mengira bahwa dirinya paling bersih, pandai dan cerdik. Perilaku seperti itu dapat mengakibatkan kotornya kehidupan.
Bila kita bertengkar lisan dengan orang yang bodoh, tentu hanya akan menimbulkan permusuhan yang senantiasa menjengkelkan hati. Sedangkan jika kita bertengkar lisan dengan orang yang arif, orang yang lebih tinggi ilmu pengetahuannya, tentu kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa, melainkan dibenci oleh mereka, karena mereka menganggap kita kurang sopan atau bahkan dianggap ilmu pengetahuannya lebih rendah.
Rasulullah SAW bersabda:” Barangsiapa meninggalkan bertengkar lisan dan  dia berada dalam posisi yang salah, maka Allah SWT membangunkan rumah untuknya di surga, dan barangsiapa meninggalkan bertengkar lisan sedang dia dalam posisi yang benar, maka dibuatkannya sebuah rumah oleh Allah SWT di surga.”[17]
 Karena itu waspadalah, jangan sampai terkena rayuan setan yang selalu berbisik kepada kita. Tampakanlah hak dan kebenaran, jangan kalah dalam menegakan kebenaran tersebut, dalam keadaan apapun. Sebab, sebenarnya setan selalu berusaha menarik orang-orang bodoh untuk dijerumuskan ke dalam jurang kejahatan. Oleh karena itu, kebenaran perlu ditegakan dan dipertahankan, walaupun itu berat.
Dizaman sekarang ini kebanyakan orang-orang banyak bertengkar lisan berdebat dan bersitegang leher. Sukanya mau menang sendiri dalam segala permasalahan, tak mau mengalah. Hal demikian dikarenakan fanatik terhadap fatwa ulama su’. Ulama munafik yang menerangkan bahwa sesungguhnya pandai bertengkar mulut dan berdebat merupakan suatu tindakan yang utama. Beranggapan bahwa pandai berhujjah (mengajukan argumentasi) dan provokasi merupakan suatu kecerdikan yang terpuji.
Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menjauhi dari pengaruh ulama su’. Sebagaimana kita lari dari ancaman harimau. Karena sesungguhnya bertengkar lisan merupakan penyebab murka Allah SWT dan dibenco oleh seluruh makhluk. Karenanya, perlu berhati-hati dalam memelihara lisan. [18]
e.       Memuji diri
Yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menyinggung diri sendiri, seakan merasa bahwa dirinya tidak mempunyai dosa. Hal yang demikian dimaksudkan untuk pamer (Riya’) kepada orang lain. Sedangkan merasa suci dari dosa dengan maksud untuk mengakui kenikmatan yang telah dicurahkan Allah SWT, merupakan bagian dari syukur kepada Allah SWT dan tidak dilarang ajaran islam.
Allah SWT berfirman : “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” ( QS. An-Najm:32)
Ayat diatas menjelaskan bahwa kita dilarang untuk menyanjung diri sendiri, karena sesungguhnya menyanjung diri sendiri dapat mengurai kedudukan dihadapan sesama umat manusia, dan dapat menjadi penyebab murka di sisi Allah SWT. Selanjutnya, sekiranya kita ingin melihat dan mengetahui jika sanjungan yang kita lakukan terhadap diri sendiri tidak akan menambah kedudukan, maka lihat dan rasakanlah terhadap teman-teman kita. Ketika mereka menyanjung diri sendiri dan menganggap baik terhadap diri sendiri dengan mengaku utama, mangaku agung dan mengaku banyak harta.
f.       Melaknat
Hendaklah kita menjauhi dan menghindari diri dari melaknat makhluk Allah SWT, baik pada binatang, makanan dan lain sebagainya, dan jangaan pula melaknat orang lain. Jangan pula berkata pada orang islam dengan mengatakan syirik, kafir ataupun munafik. Sebab, yang mengetahui batin seseorang hanyalah Allah SWT.
Ketahuilah, dihari kiamat nanti anda tidak akan ditanya: ” Mengapa kamu tidak melaknat fulan, dan mengapa kamu mendiamkannya?”. Bahkan seandainya kamu tidak pernah melaknat iblis sepanjang umurmu, dan tidak menyibukan lidah dengan menyebutnya, andapun tidak akan ditanya tentang hal itu.[19]
Tetapi sebaliknya, bial kita melaknati salah satu makhluk Allah SWT, maka kita akan dituntut sebagaimana mestinya dihari kiamat. Karenanya, janganlah kita mencela makhluk Allah SWT, sebab Rasulullah SAW  belum pernah sama sekali mencela terhadap makanan hina. Kalau kiranya beliau menghendaki, dimakan, kalau tidak, cukup diam dan tidak mencela.
g.      Mendoakan Jelek sesama Makhluk
Hendaklah menjauhkan lisandari mendoakan kejelekan terhadap sesama makhluk. Meskipun makhluk itu telah berbuat aniyaya ataupun menyakitkan kita. Cukuplah persoalan tersebut diserahkan kepada pengadilan yang paling adil, yaitu Allah SWT. Allah SWT akan memberikan hukuman dan balasan terhadap makhluk yang berbuat dzalim tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
“ Sesungguhnya orang yang dianiaya, jika mendoakan kepada orang yang menganiaya, tentu dikabulkan oleh Allah SWT. Sehingga mengimbangi penganiayaan si zalim. Jika masih sisa, maka kelak di hari kiamat akan diminta orang yang di aniaya.”[20]
h.      Mencela, Sinis dan Menghina
Hendaklah pandai memelihara diri, jangan sampai lisan kita dipakai untuk  mengejek, merendahkan dan mempermainkan orang lain. Baik secara sungguhan ataupun hanya main-main. Sebab, semua itu dapat mempermalukan, menghilangkan kehormatan dan kewibawaan, serta menimbulkan gelisah, bahkan menyakitkan orang lain.
Ketiga perkara diatas ( Mencela. Sinis dan Menghina) merupakan sumber dari timbulnya pertengkaran, kemarahan, perpecahan dan kedengkian. Oleh karena itu,
hendaknya kita dapat memelihara diri, jangan mengejek siapapun. [21]

Delapan perkara diatas merupakan pusat bahaya lisan. Kita tidak akan dapat menghindari dan menyelamatkan diri dari delapan perkara tersebut, kecuali dengan uzlah ( menyendiri), atau tidak perlu berbicara jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.  Oleh sebab itu, Sahabat Abu Bakar As-Shidiq pernah menutup mulutnya dengan batu, agar tidak berbicara yang tidak ada gunanya, serta mengurangi berbicara. Abu Bakar menunjuk mulutnya sambil berkata: “ Lisanku ini yang dapat mendatangkan bahaya.” Karena itu, hendakny kita dapat memelihara dan menjaga lisan dengan sebaik mungkin. Janaganlah lisan ini digunakan untuk melakukan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat, yang mengantarkan kita ke dalam jurang kenistaan dan kehinaan. Lisan merupakan anggota badan yang paling besar mendatangkan kerusakan bagi seseorang, baik di dunia maupun di akherat. [22]




BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan


1.      Mata
Allah SWT telah memerintahkan mata untuk digunakan sebagai berikut:
a.       Memperoleh petunjuk dalam kegelapan.
b.      Untuk memperoleh pertolongan dalam menuntut segala hajat hidup didalam mengarungi kehidupan.
c.       Untuk melihat dan menyaksikan segala keindahan yang telah Allah SWT ciptakan, baik keindahan yang ada dilangit maupun dibumi. Selanjutnya agar kita dapat mengambil i’tibar, pelajaran dan pengetahuan tentang kekuasaan dan     kebesaran Allah SWT.
2.      Telinga
Allah SWT memberikan telinga kepada manusia bukankah digunakan  untuk mendengar setiap suara. Tetapi, islam juga memberikan ketentuan dalam penggunaan telinga, yaitu:
a.       Mendengarkan firman-firman Allah SWT.
b.      Mendengarkan sabda Rasulullah SAW.
c.       Mendengarkan hikmah para kekasih Allah SWT.
3.      Lisan
Betapa banyak kenikmatan yang telah kita terima melalui lisan. Karenanya, hendaklah kita syukuri dengan jalan menggunakan lisan untuk hal-hal berikut ini:
a.       Memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, yang telah mencipptakannya.
b.      Memeperbanyak membaca Al-Qur’an.
c.       Menuntun orang lain menuju ajaran agama Allah SWT.
d.      Menyatakan sesuatau yang ada dalam hati, dari segala hajat kebutuhan yang berkenaan dengan masalah agama dan urusan keduniaan kita.



B.     Saran


Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari adanya banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi. Disamping itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.


DAFTAR PUSTAKA


Achmad Sunarto, Kiat Menggapai Hidayah, Surabaya:Al Miftah, 2013
Bahrun Abu Bakar, L.C., Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2014.




[1] Achmad Sunarto, kiat Menggapai Hidayah, Al Miftah, Surabaya, 2013, hlm. 236.
[2] Ibid., hlm. 237-238.
[3] Ibid., hlm. 238.
[4] Ibid., hlm. 239.
[5] Ibid., hlm. 240-241.
[6] Ibid., hlm 242.
[7] Ibid., hlm. 243.
[8] Bahrun Abu Bakar, L.C., Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2014.
[9] Achmad Sunarto., Op. Cit. hlm. 244-245.
[10] Achmad Sunarto., Op. Cit. 245-246
[11] Achmad Sunarto., Op. Cit. 248
[12] Achmad Sunarto., Op. Cit. 250
[13] Achmad Sunarto., Op. Cit. 251-252
[14] Achmad Sunarto., Op. Cit. 252
[15] Achmad Sunarto., Op. Cit. 255
[16]Achmad Sunarto., Op. Cit. 258
[17] Achmad Sunarto., Op. Cit. 260
[18] Achmad Sunarto., Op. Cit. 260-263
[19]Achmad Sunarto., Op. Cit. 267
[20] Achmad Sunarto., Op. Cit. 268
[21] Achmad Sunarto., Op. Cit. 269
[22] Achmad Sunarto., Op. Cit. hlm. 270-271

Tidak ada komentar:

Posting Komentar