BAB II
PEMBAHASAN
A.
ADAB MAKSIAT TERHADAP ALLAH SWT
1.
MATA
Mata diciptakan agar kita bisa mendapatkan petunjuk didalam
kegelapan. Dengan perantaraan mata kita dapat menyaksikan kehidupan alam,
melihat segala macam yang diciptakan oleh Allah SWT, dapat melihat wanita
cantik dan pemuda tampan dan masih banyak lagi, yang semua itu merupakan
pertanda dari ayat-ayat keagungan dan kekuasaan Allah SWT. [1]
Karena begitu besarnya kenikmatan yang diperoleh lewat mata, maka
kita wajib mensyukurinya, agar dapat selamat dari segala kemudharatan atau
kemaksiatan yang dilakukan mata, yang akibatnya sangat fatal. Pada dasarnya,
islam telah memberikan tuntunan terhadap kita dalam menggunakan atau
memanfaatkan mata. Allah SWT telah memerintahkan mata untuk digunakan sebagai
berikut:
a.
Memperoleh petunjuk dalam kegelapan.
b.
Untuk memperoleh pertolongan dalam menuntut segala hajat hidup
didalam mengarungi kehidupan.
c.
Untuk melihat dan menyaksikan segala keindahan yang telah Allah SWT
ciptakan, baik keindahan yang ada dilangit maupun dibumi. Selanjutnya agar kita
dapat mengambil i’tibar, pelajaran dan pengetahuan tentang kekuasaan dan
kebesaran Allah SWT. [2]
Oleh
karena itu, hendaklah kita selalu menjaga dan memelihara mata dari empat macam
perkara, yaitu:
a.
Jangan digunakan untuk melihat orang lain yang bukan mukhrim.
b.
Jangan digunakan untuk melihat aneka ragam keindahan bentuk dan
rupa, sehingga dapat memikat dan menimbulkan syahwat.
c.
Jangan digunakan untuk melihat dan memandang orang islam dengan
pandangan sinis dan meremehkan.
d.
Jangan digunakan untuk melihat orang lain yang dapat menimbulkan
ketakutan pada mereka.[3]
Dengan
demikian, mata harus dijaga dan dipelihara, yang senantiasa akan mengantarkan
kepada moral yang baik, sesuai yang telah digariskan syariat islam. Karenanya,
kita sebagai umat muslim, hendaklah selalu memohon perlindungan kepada Allah
SWT, agar mata kita yang menjadi amanat dan karunia dari sisi-Nya dapat terjaga
dan terjauhkkan dari segala perbuatan maksiat dan dosa. Maksiat dan dosa dapat
menarik kita kejurang kebinasaan. Setelah kita dapat menjaga anggota badan yang
berupa mata, maka hendaklah kita menjaga anggota yang lain, agar kita
benar-benar selamat dari murka dan ancaman Allah SWT.[4]
2.
TELINGA
Telinga merupakan nikmat dan amanat dari Allah SWT yang wajib kita
syukuri dan pelihara. Alangkah bahagianya orang yang mempunyai telinga, yang
dapat digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah SWT, mendengarkan kesyahduan
dan kemerduan alunan musik, mendengar lagu qasidah, mendengar tuntunan dan
petunjuk ajaran agama. Namun demikian, Allah SWT memberikan telinga kepada
manusia bukankah digunakan untuk
mendengar setiap suara. Tetapi, islam juga memberikan ketentuan dalam
penggunaan telinga, yaitu:
a.
Mendengarkan firman-firman Allah SWT.
b.
Mendengarkan sabda Rasulullah SAW.
c.
Mendengarkan hikmah para kekasih Allah SWT.
Disamping itu, hendaklah telinga digunakan untuk sarana mendapatkan
ilmu pengetahuan yang dapat mengantar kesuatu kebahagiaan yang kekal dan
kenikmatan yang abadi, yang telah Allah SWT sediakan kelak di Akherat, yaitu
Surga. Karena itu, jangan digunakan untuk mendengar sesuatu yang bid’ah, ucapan
ghibah (mengumpat), bergumam, provokasi, perkataan keji, ucapan mengadu domba,
mendengarkan penuturan kejelekan orang lain. Hendaklah semua itu dihindari
semaksimal mungkin, apalagi bagi kita sebagai umat muslim yang tunduk dan patuh
pada ajaran agama. Disamping menghindari mendengarkan perkataan-perkataan tidak
baik, juga kita harus menghindari dari mengucapkannya pula. [5]
Andaikan telinga kita digunakan untuk mendengar sesuatu yang
dibenci oleh islam, yang mestinya akan mendatangkan kemanfaatan, malah berbalik
menjadi sesuatu yang membahayakan. Dan sesuatu yang semestinya akan
mendatangkan keutamaan, berbalik menjadi suatu yang mendatangkan kerusakan dan
kebinasaan. Akibatnya akan mendatangkan kerugian yang amat besar. [6]
Janganlah beranggapan bahwa dosa akan menimpa pada orang yang
berbicara saja, sedangkan yang mendengarkannya tidak mendapat dosa. Sebab
Rasulullah SAW dengan tegas memberikan keterangan sebagai berikut,
“ sesungguhnya orang yang mendengarkan adalah sekutu orang yang
berbicara ( dalam Dosa), dan dia merupakan salah satu dari dua orang yang berbuat
ghibah (mengumpat).”
Oleh sebab itu, hendaklah kita berhati-hati dalam mendengarkan
perkataan, jangan ikut-ikutan mendengarkan sesuatu yang dilarang oleh syariat
islam. Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan pertolongan kepada kita,
agar dapat memelihara telinga dari sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sehingga
kita dapat selamat disepanjang masa. [7]
·
Hiburan Telinga
Menurut
pendapat Ulama hiburan telinga itu berbeda-beda, sebagian diantara mereka ada
yang mengharamkannya dan sebagian
yang lain ada yang membolehkannya. Yang
dengan hiburan telinga artinya mendengar suara yang merdu berirama,
dimengerti maknanya lagi menggugah hati. Secara garis besar hiburan telinga itu
tiada lain untuk menghibur hati dan telinga yang kedudukannya sama dengan
menyegarkan pandangan mata dengan melihat tetumbuhan yang hijau-hijau dan
hatipun menjadi terhibur karenanya.
Mustahil bila dikatakan bahwa suara yang indah
itu tidak boleh untuk membaca Kitabullah,
karena sesungguhnya menengar suara mendengar suara burung ‘andalib
diperbolehkan. Apabila mendengar suara yang merdu diperbolehkan, maka tentu
tidak diharamkan bila suara itu mempunyai nada, sepertihalnya suara nyanyian
yang mempunyai not dan langgam yang teratur lagi selaras. Dalam hal ini tidak
ada bedanya bila suara yang indah keluar dari bani Adam,burung atau yang
lainnya.
Dalil yang
memperbolehkan mendengarkan suara hiburan adalah berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari para sahabat mengenai menyanyikan bait-bait syair. Didalam kitab Shahihain, disebutkan melalui
Abu Bakar dan Bilal, ketika keduanya tiba di Madinah, Bilal mengalami sakit
demam, dan manakala penyakitnya hilang ia mendendangkan syair-syair dengan
suara yang keras.[8]
3.
LISAN
Perlu diperhatikan, apakah maksud dan tujuan Allah SWT menciptakan
lisan untuk kita, sehingga kita akan sadar dari kelalaian dan perbuatan
maksiat, disamping tanda syukur kepada
Allah SWT.
Betapa banyak kenikmatan yang telah kita terima melalui lisan. Karenanya,
hendaklah kita syukuri dengan jalan menggunakan lisan untuk hal-hal berikut
ini:
a.
Memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, yang telah mencipptakannya.
b.
Memeperbanyak membaca Al-Qur’an.
c.
Menuntun orang lain menuju ajaran agama Allah SWT.
d.
Menyatakan sesuatau yang ada dalam hati, dari segala hajat
kebutuhan yang berkenaan dengan masalah agama dan urusan keduniaan kita.[9]
Seandainya lisan digunakan untuk hal yang tidak baik, berarti kita
telah mengkufuri nikmat Allah SWT. Sesungguhnya lisan merupakan salah satu
anggota badan yang paling dominan dan paling banyak perannya dalam mengalahkan
seseorang.
Seseorang dijebloskan dalam api neraka jahannam dan dijungkir
balikan merupakan akibat lisan juga. Karenanya, hendaklah kita dapat menjaga
dan memelihara lisan tersebut. Hendaknya dijaga dengan sungguh-sungguh dan
sekuat tenaga, sesuai dengan kemampuan yang ada. Sehingga, lisan tidak akan
menjebloskan kita kedalam api neraka jahannam yang sangat keji dan hina. Untuk
itu, perhatikan dan renungkan hadits Nabi Muhammad SAW,
“Sesungguhnya seseorang yang karena mengeluarkan perkataan
dengan ucapan yang mengandung maksud meremehkan kawan, maka karena ucapan itu,
dia dimasukan ke dalam neraka jahannam selama tujuh puluh tahun”.[10]
Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menjaga diri dari delapan
perkara yang sangat besar mendatangkan bahaya bagi keselamatan jiwa, baik di
dunia maupun akherat kelak. Adapun delapan perkara tersebut adalah:
a.
Dusta
Dusta
merupakan sejelek-jelek perbuatan dosa. Jaganlah kita membiasakan diri melakukan
perbuatan dusta yang sebenarnya akan mengantar kita menjadi seorang pendusta.
Sesungguhnya perbuatan dusta merupakan induk dari segala perbuatan besar.
Karenanya, kalau telah mengetahui keburukannya, hendaklah menjauhinya. Jika
masih saja dilakukan, sudah pasti akan hilang sifat keadilannya, dan hilang
pula kepercayaan orang lain kepada kita. [11]
Jika
seseorang ingin mengetahui kejelekan perbuatan dusta yang keluar dari lisannya,
hendaklah melihat perbuatan atau ucapan dusta yang dilakukan orang lain. Lalu
renungkan bagaimana rasanya didustai orang, dan bagaimana perasaannya terhadap
orang yang berdusta tersebut. Kalau seseorang menganggap hina perbuatan dusta,
berarti dia merasa menjadi orang terhina bila berbuat dusta.
Jikaseseorang
dapat mengambil kesimpulan dari masalah
dusta yang dilakukan orang lain, maka hendaklah instropeksi, menjaga diri terhadap
segala aib yang terdapat dalam dirinya. Sebab kita tidak dapat melihat dan
mengetaui aib diri kita sendiri, tanpa cara demikian. Ibarat seseorang yang
tidak dapat melihat paras muka sendiri, maka untuk melihatnya memerlukan
cermin. Karena itu, sesuatu yang kita anggap tidak baik yang timbul dari orang
lain, tentu akan dianggap jelek ataupun buruk pula dari orang lain bila kita
lakukan. Karena itu, jangan mau kemasukan atau ditempati sifat tercela, yang
menurut pandangan umum tidak baik. Demikian islam mengajarkan kepada pemeluknya
agar berakhlak yang baik, yang megantarkan mereka menuju keselamatan dunia dan
akherat. [12]
b.
Ingkar janji
Apabila
kita tidak dapat menepati janji, lebih baik tidak berjanji. Sebab mengingkari
janji merupakan larangan agama yang harus di hindari oleh setiap kaum muslimin.
Jika memang terpaksa berjanji, hendaklah dijaga dengan sungguh-sungguh, jangan
mengingkarinya. Boleh ingkar janji jika dalam keadaan lemah atau dalam keadaan
darurat (terpaksa). Sebab mengingkari janji dengan tanpa alasan merupakan baian
dari tanda-tanda orang munafik. Rasulullah SAW bersabda:” Ada tiga perkara
yang apabila dimiliki oleh seseorang, maka dia orang munafik, sekalipun dia
melakukan sholat dan puasa. Tiga perkara itu adalah: apabila berjanji mengingkari,
apabila berkata berdusta, dan apabila dipercaya khianat.”[13]
c.
Ghibah ( Mengumpat)
Ghibah
ialah membicarakan keadaan orang lain yang jika ia mendengar tidak merasa
senang. Jika kita melakukannya, bararti telah melakukan ghibah, menganiaya diri
sendiri, walaupun yang dibicarakan itu benar-benar terjadi. Apa yang kita
katakan merupakan kenyataan dari keadaan orang yang kita bicarakan. [14]Allah
SWT berfirman:”Dan janganlah sebagia kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang diantara kamu yang memakan daging saudaranya yang telah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujaraat:12)
Pada
ayat diatas dijelaskan bahwa, Ghibah ibarat orang yang memakan daging
saudaranya yang telah membusuk. Oleh karena itu, hendaklah kita menyadari,
bahwa sesungguhnya membicarakan kejelekan orang lain bahayanya sangat besar
sekali. Oleh karenanya, berusahalah dengan semaksimal mungkin untuk
menjauhinya. Jangan sampai membicarakan aib sesama kaum musimin. [15]
Hendaknya
kita selalu ingat, jika sekiranya kita mau menutup dan merahasiakan aib atau
cela orang lain, maka Allah SWT berjanji akan merahasiakan dan menutup aib atau
cela kita, baik di dunia maupun akherat. Tetapi sebaliknya, jika kita membuka
rahasia orang lain, Allah SWT akan membuka rahasia kita di muka umum, baik di
Dunia ataupun di Akherat. Allah SWT akan memerintah orang-orang yang memiliki
lisan yang tajam untuk membeberkan rahasia kita dimuka bumi. Diakherat nanti
akan dibuka pula rahasia itu dimuka umum, disaksikan oleh seluruh makhluk.
Jika
kita telah mengoreksi diri sendiri, namun tidak dapat menemukan cela dan cacat,
baik mengenai urusan dunia dan Akherat, maka ketahuilah : ”Sesungguhnya kita
adalah seburuk-buruk orang yang paling tolol, dan tiada aib yang lebih jelek
daripada kebodohan.”
Manakala Allah SWT menghendaki diri kita menjadi orang yang baik,
niscaya Allah SWT akan berkenaan memperlihatkan seluruh cacat dan kekurangan
yang terdapat pada diri kita. Maka jika kita beranggapan bahwa diri kita dalam
keadaan baik, seperti tidak memiliki cacat dan cela, merasa puas, itu merupakan
puncak kebodohan kita sendiri. Akan tetepi, jika anggapan itu benar, cocok
dengan angan-angan bahwa kita dalam keadaan baik, maka hendaklah kita bersyukur
kepada Allah SWT, sebab demikian lebih baik. Selanjutnya, jangan sampai
kebaikan yang telah kita peroleh ini rusak karena kita mencela ataupun
menganggap hina orang lain, memburuk-burukan, membuka cacat dan cela orang
lain. Sebab, perbuatan itu merupakancela yang benar. [16]
d.
Debat dan Banyak Bicara
Tindakan
bertengkar mulut, debat dan terlalu banyak bicara adalah menyakitkan orang yang
diajak bicara. juga menganggap bodoh dan
mencacinya. Tindakan seperti itu didasari atau tidak telah menyanjung diri
sendiri, dan mengira bahwa dirinya paling bersih, pandai dan cerdik. Perilaku
seperti itu dapat mengakibatkan kotornya kehidupan.
Bila
kita bertengkar lisan dengan orang yang bodoh, tentu hanya akan menimbulkan
permusuhan yang senantiasa menjengkelkan hati. Sedangkan jika kita bertengkar
lisan dengan orang yang arif, orang yang lebih tinggi ilmu pengetahuannya,
tentu kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa, melainkan dibenci oleh mereka,
karena mereka menganggap kita kurang sopan atau bahkan dianggap ilmu
pengetahuannya lebih rendah.
Rasulullah
SAW bersabda:” Barangsiapa meninggalkan bertengkar lisan dan dia berada dalam posisi yang salah, maka
Allah SWT membangunkan rumah untuknya di surga, dan barangsiapa meninggalkan
bertengkar lisan sedang dia dalam posisi yang benar, maka dibuatkannya sebuah
rumah oleh Allah SWT di surga.”[17]
Karena itu waspadalah, jangan sampai terkena
rayuan setan yang selalu berbisik kepada kita. Tampakanlah hak dan kebenaran,
jangan kalah dalam menegakan kebenaran tersebut, dalam keadaan apapun. Sebab,
sebenarnya setan selalu berusaha menarik orang-orang bodoh untuk dijerumuskan
ke dalam jurang kejahatan. Oleh karena itu, kebenaran perlu ditegakan dan
dipertahankan, walaupun itu berat.
Dizaman
sekarang ini kebanyakan orang-orang banyak bertengkar lisan berdebat dan
bersitegang leher. Sukanya mau menang sendiri dalam segala permasalahan, tak
mau mengalah. Hal demikian dikarenakan fanatik terhadap fatwa ulama su’. Ulama
munafik yang menerangkan bahwa sesungguhnya pandai bertengkar mulut dan
berdebat merupakan suatu tindakan yang utama. Beranggapan bahwa pandai
berhujjah (mengajukan argumentasi) dan provokasi merupakan suatu kecerdikan
yang terpuji.
Oleh
karena itu, hendaklah kita dapat menjauhi dari pengaruh ulama su’. Sebagaimana
kita lari dari ancaman harimau. Karena sesungguhnya bertengkar lisan merupakan
penyebab murka Allah SWT dan dibenco oleh seluruh makhluk. Karenanya, perlu
berhati-hati dalam memelihara lisan. [18]
e.
Memuji diri
Yang
dimaksud dalam pembahasan ini adalah menyinggung diri sendiri, seakan merasa
bahwa dirinya tidak mempunyai dosa. Hal yang demikian dimaksudkan untuk pamer
(Riya’) kepada orang lain. Sedangkan merasa suci dari dosa dengan maksud untuk
mengakui kenikmatan yang telah dicurahkan Allah SWT, merupakan bagian dari
syukur kepada Allah SWT dan tidak dilarang ajaran islam.
Allah
SWT berfirman : “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang
paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” ( QS. An-Najm:32)
Ayat
diatas menjelaskan bahwa kita dilarang untuk menyanjung diri sendiri, karena
sesungguhnya menyanjung diri sendiri dapat mengurai kedudukan dihadapan sesama
umat manusia, dan dapat menjadi penyebab murka di sisi Allah SWT. Selanjutnya,
sekiranya kita ingin melihat dan mengetahui jika sanjungan yang kita lakukan
terhadap diri sendiri tidak akan menambah kedudukan, maka lihat dan rasakanlah
terhadap teman-teman kita. Ketika mereka menyanjung diri sendiri dan menganggap
baik terhadap diri sendiri dengan mengaku utama, mangaku agung dan mengaku
banyak harta.
f.
Melaknat
Hendaklah
kita menjauhi dan menghindari diri dari melaknat makhluk Allah SWT, baik pada
binatang, makanan dan lain sebagainya, dan jangaan pula melaknat orang lain.
Jangan pula berkata pada orang islam dengan mengatakan syirik, kafir ataupun
munafik. Sebab, yang mengetahui batin seseorang hanyalah Allah SWT.
Ketahuilah,
dihari kiamat nanti anda tidak akan ditanya: ” Mengapa kamu tidak melaknat
fulan, dan mengapa kamu mendiamkannya?”. Bahkan seandainya kamu tidak pernah
melaknat iblis sepanjang umurmu, dan tidak menyibukan lidah dengan menyebutnya,
andapun tidak akan ditanya tentang hal itu.[19]
Tetapi
sebaliknya, bial kita melaknati salah satu makhluk Allah SWT, maka kita akan
dituntut sebagaimana mestinya dihari kiamat. Karenanya, janganlah kita mencela
makhluk Allah SWT, sebab Rasulullah SAW belum pernah sama sekali mencela terhadap
makanan hina. Kalau kiranya beliau menghendaki, dimakan, kalau tidak, cukup
diam dan tidak mencela.
g.
Mendoakan Jelek sesama Makhluk
Hendaklah
menjauhkan lisandari mendoakan kejelekan terhadap sesama makhluk. Meskipun
makhluk itu telah berbuat aniyaya ataupun menyakitkan kita. Cukuplah persoalan
tersebut diserahkan kepada pengadilan yang paling adil, yaitu Allah SWT. Allah
SWT akan memberikan hukuman dan balasan terhadap makhluk yang berbuat dzalim
tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
“ Sesungguhnya
orang yang dianiaya, jika mendoakan kepada orang yang menganiaya, tentu
dikabulkan oleh Allah SWT. Sehingga mengimbangi penganiayaan si zalim. Jika
masih sisa, maka kelak di hari kiamat akan diminta orang yang di aniaya.”[20]
h.
Mencela, Sinis dan Menghina
Hendaklah
pandai memelihara diri, jangan sampai lisan kita dipakai untuk mengejek, merendahkan dan mempermainkan orang
lain. Baik secara sungguhan ataupun hanya main-main. Sebab, semua itu dapat
mempermalukan, menghilangkan kehormatan dan kewibawaan, serta menimbulkan
gelisah, bahkan menyakitkan orang lain.
Ketiga
perkara diatas ( Mencela. Sinis dan Menghina) merupakan sumber dari timbulnya
pertengkaran, kemarahan, perpecahan dan kedengkian. Oleh karena itu,
hendaknya
kita dapat memelihara diri, jangan mengejek siapapun. [21]
Delapan perkara diatas merupakan pusat bahaya lisan. Kita tidak
akan dapat menghindari dan menyelamatkan diri dari delapan perkara tersebut,
kecuali dengan uzlah ( menyendiri), atau tidak perlu berbicara jika tidak ada
kepentingan yang sangat mendesak. Oleh
sebab itu, Sahabat Abu Bakar As-Shidiq pernah menutup mulutnya dengan batu,
agar tidak berbicara yang tidak ada gunanya, serta mengurangi berbicara. Abu
Bakar menunjuk mulutnya sambil berkata: “ Lisanku ini yang dapat
mendatangkan bahaya.” Karena itu, hendakny kita dapat memelihara dan
menjaga lisan dengan sebaik mungkin. Janaganlah lisan ini digunakan untuk
melakukan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat, yang mengantarkan kita ke
dalam jurang kenistaan dan kehinaan. Lisan merupakan anggota badan yang paling
besar mendatangkan kerusakan bagi seseorang, baik di dunia maupun di akherat. [22]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Mata
Allah SWT telah memerintahkan mata untuk digunakan sebagai berikut:
a.
Memperoleh petunjuk dalam kegelapan.
b.
Untuk memperoleh pertolongan dalam menuntut segala hajat hidup
didalam mengarungi kehidupan.
c.
Untuk melihat dan menyaksikan segala keindahan yang telah Allah SWT
ciptakan, baik keindahan yang ada dilangit maupun dibumi. Selanjutnya agar kita
dapat mengambil i’tibar, pelajaran dan pengetahuan tentang kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.
2.
Telinga
Allah SWT
memberikan telinga kepada manusia bukankah digunakan untuk mendengar setiap suara. Tetapi, islam
juga memberikan ketentuan dalam penggunaan telinga, yaitu:
a.
Mendengarkan firman-firman Allah SWT.
b.
Mendengarkan sabda Rasulullah SAW.
c.
Mendengarkan hikmah para kekasih Allah SWT.
3.
Lisan
Betapa banyak
kenikmatan yang telah kita terima melalui lisan. Karenanya, hendaklah kita
syukuri dengan jalan menggunakan lisan untuk hal-hal berikut ini:
a.
Memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, yang telah mencipptakannya.
b.
Memeperbanyak membaca Al-Qur’an.
c.
Menuntun orang lain menuju ajaran agama Allah SWT.
d.
Menyatakan sesuatau yang ada dalam hati, dari segala hajat
kebutuhan yang berkenaan dengan masalah agama dan urusan keduniaan kita.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari adanya banyak kesalahan
dan kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
ke depannya bisa lebih baik lagi. Disamping itu, kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad
Sunarto, Kiat Menggapai Hidayah, Surabaya:Al Miftah, 2013
Bahrun Abu Bakar, L.C., Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Penerbit
Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2014.
[1] Achmad Sunarto, kiat Menggapai Hidayah, Al Miftah, Surabaya,
2013, hlm. 236.
[2] Ibid., hlm. 237-238.
[3] Ibid., hlm. 238.
[4] Ibid., hlm. 239.
[5] Ibid., hlm. 240-241.
[6] Ibid., hlm 242.
[7] Ibid., hlm. 243.
[8] Bahrun Abu Bakar, L.C., Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Penerbit
Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2014.
[9] Achmad Sunarto., Op. Cit. hlm. 244-245.
[10] Achmad Sunarto., Op. Cit. 245-246
[11] Achmad Sunarto., Op. Cit. 248
[12] Achmad Sunarto., Op. Cit. 250
[13] Achmad Sunarto., Op. Cit. 251-252
[14] Achmad Sunarto., Op. Cit. 252
[15] Achmad Sunarto., Op. Cit. 255
[16]Achmad Sunarto., Op. Cit. 258
[17] Achmad Sunarto., Op. Cit. 260
[18] Achmad Sunarto., Op. Cit. 260-263
[19]Achmad Sunarto., Op. Cit. 267
[20] Achmad Sunarto., Op. Cit. 268
[21] Achmad Sunarto., Op. Cit. 269
[22] Achmad Sunarto., Op. Cit. hlm. 270-271
Tidak ada komentar:
Posting Komentar